CATATAN PENUH MAKNA

Advertisement

PPN Tetap Naik, Lagi-lagi Suara Rakyat DiabaikanOleh: Vivi Nurwida

“Agama saja hanya minta 2,5%, bisa-bisanya negara maksa 12%”. Kalimat ini banyak berseliweran di media sosial, bukti bahwa masyarakat menolak kenaikan PPN menjadi 12%.

Selain itu, petisi menolak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang telah ditandatangani lebih dari 113.000 orang sudah diterima Sekretariat Negara (Setneg). Penyerahan petisi ini dilakukan pada aksi damai di depan Istana Negara. Peserta aksi berasal dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, mahasiswa, hingga kelompok pencinta budaya Jepang (Wibu) dan Korea (K-popers).

Risyad Azhary selaku inisiator petisi tolak PPN 12%, bertindak sebagai perwakilan massa aksi untuk menyerahkan petisi tersebut kepada Sekretariat Negara. Namun, ia mengungkapkan respons yang diterima Setneg terkesan sebatas administratif atau formalitas belaka (aksarra,com .20-12-2024).

Diabaikan dan Menyengsarakan Rakyat

Petisi yang sudah ditandatangani lebih dari 113.000 orang tersebut rupanya tidak menjadikan pemerintah mengurungkan niatnya untuk menaikan tarif PPN menjadi 12%. Artinya, lagi-lagi pemerintah mengabaikan suara rakyat. Lagi-lagi rakyat ditambah bebannya.

Pemerintah berdalih program prioritas Presiden Prabowo Subianto, makan bergizi gratis menjadi salah satu alasan mengapa tarif PPN 12% resmi berlaku pada 1 Januari 2025. Dari sini pun menandakan bahwa program pemerintah makan siang gratis bukan dibiayai oleh dana negara, melainkan tetap dibebankan kepada rakyat.

Selain itu pemerintah juga mengklaim memberikan batasan pada barang-barang yang terkena kenaikan PPN, seperti barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Hal ini dianggap mengurangi dampak kenaikan tarif PPN ke masyarakat.

Padahal, dampak kenaikan PPN begitu luas, yakni terjadi efek domino pada rantai produksi. Artinya, semua komoditas akan terkena dampak kenaikan PPN ini, meskipun secara tidak langsung. Misalnya, harga beras yang tidak mengalami kenaikan tarif PPN, tetap akan mengalami kenaikan harga, sebagai dampak hal-hal untuk mendistribusikan beras yang mengalami kenaikan tarif PPN seperti biaya logistik.

Dampak kenaikan PPN yang mengakibatkan naiknya harga beras hanyalah salah satu contoh. Masih banyak komoditas lain yang tentunya akan berdampak pada kenaikan tarif PPN ini, meskipun pemerintah mengatakan tambahan PPN sebesar 1% akan ditanggung oleh pemerintah pada barang/ jasa tertentu. Lagi-lagi beban rakyat ditambah, rakyat semakin sengsara.

Pemerintahan Populis Otoriter

Peningkatan pendapatan pemerintah dari kenaikan tarif pajak rupanya juga tidak sebanding dengan dampak positif yang didapatkan masyarakat. Justru, kenaikan PPN semakin menambah beban rakyat, pengeluaran semakin besar, sementara upah tidak mengalami kenaikan yang signifikan.

Sebagai upaya mengurangi beban masyarakat, pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah kompensasi melalui berbagai paket stimulus ekonomi. Langkah tersebut mencakup diskon tarif listrik, pemberian bantuan pangan, pembebasan pajak penghasilan selama satu tahun untuk buruh di sektor pakaian, alas kaki, tekstil dan furnitur, juga pembebasan PPN untuk pembelian rumah tertentu (beritasatu.com, 20-12-2024).

Pemerintah merasa cukup dengan melakukan langkah kompensasi seperti yang tertulis di atas. Dengan langkah ini pemerintah seolah-olah merakyat dengan bantuan-bantuan yang diberikan, padahal sejatinya kebijakan yang dikeluarkan semisal kenaikan tarif PPN menjadi 12% justru membebani rakyat. Inilah gambaran pemerintahan yang populis otoriter. Seperti merakyat, namun ternyata menzalimi rakyat.

Buah Penerapan Sistem Kapitalisme

Inilah konsekuensi penerapan sistem sekuler kapitalisme yang hanya memposisikan negara sebagai regulator dan fasilitator. Negara merasa sudah cukup menjalankan tugasnya hanya dengan memungut pajak dan mendistribusikannya. Negara tidak peduli bahwa pungutan pajak sangat membebani hidup rakyat. Bahkan, negara abai dengan keluhan rakyat, abai dengan suara rakyat. Bahkan dengan arogan meminta orang yang tidak sepakat dengan kenaikan PPN menjadi 12% ini untuk pindah dari Indonesia.

Padahal, dana pajak justru digunakan untuk proyek-proyek yang hanya menguntungkan para pemilik modal (kapital). Terlebih, pengusaha kapitalis itu justru mendapatkan pengampunan pajak dengan dalih untuk menarik investor asing. Sedangkan, pengusaha lokal harus dikenakan pajak yang begitu mencekik, hingga mereka terpaksa gulung tikar karena tidak mampu membayar besarnya pajak yang dibebankan pada mereka.

Pajak dalam Sistem Kapitalisme

Dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak memiliki dua fungsi, yakni:

  1. Fungi budgetair (sumber keuangan negara)
  2. Fungsi regularend (pengatur)
    Dalam sistem ekonomi kapitalis ini, fungsi-fungsi tersebut sangat penting. Sebab, penerimaan pajak adalah sesuatu yang pasti bagi negara. Jadi, pajak akan terus dibebankan kepada rakyat.

Padahal, jika kita mau melihat lebih dalam, negeri ini adalah negeri yang sangat kaya. Sumber daya alamnya begitu melimpah, seharusnya dengan pemanfaatan yang baik dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Namun, SDAE justru dikuasai segelintir orang, bahkan asing. Pemerintah juga malah mendorong investor asing untuk bisa menanamkan modalnya di Indonesia.

Naiknya harga kebutuhan pokok, justru membuat kemampuan rakyat membayar pajak menjadi rendah. Akibatnya, pemasukan negara pun menurun. Akhirnya, negara akan melakukan utang luar negeri untuk menambah pemasukan negara. Padahal, dengan berutang kepada asing, negara menjadi mudah disetir, kebijakannya pun lebih condong pada asing dan pemilik modal, bukan kepada rakyat.

Pajak dalam Islam

Pajak dalam Islam dikenal dengan sebutan dharibah. Dharibah bukanlah sesuatu yang wajib dibayarkan oleh objek pajak secara kontinu. Pajak hanya akan ditarik dari orang kaya dari kalangan kaum Muslim saja, yang ia mempunyai kelebihan harta, kebutuhan primer dan sekundernya sudah terpenuhi dengan baik.

Dharibah ini sifatnya hanyalah sementara, artinya hanya diambil dalam keadaan genting saja, yakni ketika baitul mal dalam keadaan kosong, bukan di setiap masa sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Besarannya juga disesuaikan dengan kebutuhan saat itu, tidak boleh ditarik melebihi kebutuhan baitul mal untuk membiayai kebutuhan yang bersifat wajib dan harus segera ditunaikan.

Dharibah (pajak) ini juga tidak akan dipungut atas orang-orang kafir, juga tidak boleh diambil dari orang-orang miskin. Hal ini, sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
“Dan siapa saja yang tidak memiliki kelebihan harta, maka pajak tidak diambil dari yang bersangkutan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: Sebaik-baiknya shadaqah adalah yang berasal dari orang-orang kaya.” (HR. Bukhari melalui jalur Abu Hurairah).

Selain itu, syariat Islam telah menetapkan bahwa SDAE adalah kepemilikan umum yang tidak boleh diprivatisasi atau dikuasai oleh pihak swasta ataupun asing. SDAE harus dimanfaatkan dengan optimal guna kesejahteraan rakyat. Dengan pengelolaan sedemikian rupa, negara akan mampu mensejahterakan rakyat, tanpa membebani mereka dengan pajak.

Penerapan semacam ini hanya bisa terwujud dalam negara yang menerapkan Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Sudah semestinya, kita sebagai umat Islam bersungguh-sungguh memperjuangkannya. Sebab, hanya dengan hidup pada negara yang menerapkan Islam secara kafah lah kesejahteraan, keadilan dan keberkahan dapat dirasakan oleh seluruh warga negara.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *